Glory of God
Glory of God
Jumat, 21 Desember 2012
Cipto Junaedy membeli rumah tanpa utang
Sabtu, 01 Desember 2012
Visi Misi SEMA STIS
Berikut adalah Visi Misi STIS.
VISI
Menjadikan STIS sebagai lembaga pendidikan tinggi kedinasan yang berfungsi mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuna khususnya di bidang statistika dan komputasi statistic dengan menyiapkan peserta didik menjadi kader yang memiliki kemampuan akademik/ propesiomal di bidang statistika dan komputasi statistik dan siap pakai baik bagi BPS maupun instansi lain
MISI
Menyelenggarakan Tri Darma Perguruan Tinggi melalui pendidikan professional
Menyelanggarakan pendidikan professional di bidang statistika dan komputasi statistik untuk menghasilkan tenaga sarjana sains terapan di bidang statistika dan komputasi statistik yang berkualitas dan siap pakai, khususnya bagi BPS
Menyediakan fasilitas pendidikan statistika dengan bidang konsentrasi ekonomi dam sosial kependudukan serta pendidikan komputasi statistik.
Melaksanakan riset guna meningkatkan mutu pengetahuan mengenai statistika dan komputasi statistik dengan mengali, mengkaji, dan terus mengembangkan ilmu statistik
Mengembangkan, mmeningkatkan, dan mengabdikan diri sebagai wahana pendidikan professional di bidang statistika dan komputasi statistik
Sumber : USM STIS 2013/2014
Selasa, 27 November 2012
2.1.1. Politicians Assisted in Creating the Subprime Monster
Fannie Mae and Freddie Mac are the biggest underwriters of home mortgages
in the US. These entities do not lend money directly to consumers but instead, they
purchase loans from banks on the so called secondary market. The names of Fannie
Mae and Freddie
Mac are based on their corporate acronyms; FNMA (Federal
National
Mortgage Association) and FHLC
(Federal
Home Loan Corporation). Fannie
Mae was
founded in 1938, during the Great Depression, when millions of families
could not become homeowners
or faced losing their homes. In 1968 Fannie
Mae
was
partially privatized, and in 1970 Freddie
Mac was
created as a wholly pri-
vate company to improve competition. Since then, both are privately owned by
shareholders but regulated by the US Congress. They are also often referred to as
Government Sponsored Enterprises (GSEs), due to the fact that they have been created
to serve
a public aim and are exempt
from state and local taxes.
In addition their securities generally benefit from a state guarantee. Therefore
the GSEs are able to borrow money more cheaply than other banks. The state guarantee
plus the tax advantage are an indirect federal subsidy.
This
advantage is estimated
to be worth
about 6.5 billion USD p.a. In return, the GSEs were
expected
to
serve
‘public purposes’, including helping to make
home buying more affordable.
For many years there was significant political influence on this two major US
mortgage banks to provide cheap refinancing of mortgages to other banks by purchasing
so-called ‘affordable
loans’ to the lower
middle class. By expanding
the
type
of loans they
would
buy,
both were
hoping to spur banks to provide
more
loans
to people with less-than-stellar credit ratings.
In 1992 – under the Clinton Administration – the Department of Housing and
Urban Development (HUD) became the responsible regulator of Fannie Mae and
Freddie Mac. The Clinton Administration had a clear political agenda to put more
low-income and minority families into their own homes. In 1995 the HUD agreed
to let Fannie Mae and Freddie Mac purchase affordable-housing credit which included
loans to low-income
borrowers.
The
idea was
that this would
spur granting
of
loans and increased lending would
benefit many borrowers
who did not qualify
for
conventional
loans. The
agency therefore required Fannie
Mae and Freddie
Mac
to
purchase far more ‘affordable
loans’ made to these borrowers.
Since then the
GSEs
have
been supposed to buy a certain portion of ‘affordable’
mortgages each
year
made to underserved
borrowers.
In the 1990s the GSEs had already expanded homeownership for millions of
families by reducing the requirements for down-payments. Nevertheless, in 1999
Fanny Mae was facing increasing pressure from the Clinton Administration to further
expand
mortgage lending to low-
and moderate-income people and felt pressure
from stockholders to maintain its phenomenal profit growth.
For
example,
the
HUD requested that by 2001 50% of the GSEs portfolio should be made up
of
loans to low
and moderate-income borrowers.
At the same time HUD was
investigating
allegations of racial discrimination in the automated underwriting systems
used by the GSEs to determine the credit-worthiness
of credit applicants. In
addition,
banks, thrift institutions and mortgage companies had been pressing Fannie
Mae to help them grant more loans to subprime borrowers,
whose incomes,
credit
ratings and savings
were
not good enough to qualify for conventional
loans.
Source : Perguruan Tinggi Kedinasan
Rabu, 21 November 2012
Ini adalah pertama kali nulis di blog. :)
Teman-teman ini adalah blog pertamaku. Aku baru buat blog dan diajari teman aku dengan akun twitter @riioCr
Ohya sebagai penghargaan dia hanya meminta memberi kredit link ke blog nya, gakpapa kan?
Ini credit link nya
Ini adalah postingan pertamaku, ayo kunjungi blog aku Rakuten.co.id: Toko online murah, serba ada Barang unik Jepang
Kamis, 15 November 2012
Uang dan Waktu
Anak : Ayah, berapa sih gaji ayah di kantor?
Ayah: What !! Mengapa kamu bertanya seperti itu? (bernada marah)?? Ayah itu digaji rp 5 juta sebulan tahu! Setiap jam ayah dibayar rp 20 ribu!
Anak: Dinda sudah sebulan ini menabung (sambil menyodorkan uang receh), nih ayah, Dinda bayar ayah rp 20 ribu, boleh nggak besok Dinda minta waktu ayah sejam saja untuk bermain bareng Dinda?
Jangan jadikan pekerjaan menjadi penghalang untuk bersama dengan orang yang anda cintai |
Uang dan Waktu ~ Cerita ini menyadarkan kita semua, bahwa begitu banyak orang bekerja keras mengejar uang hingga pensiun, melupakan waktu waktu berharga yang tidak akan pernah kembali..
Jangan tunda lagi, mari membangun asset di kuadran kanan yang bisa memberikan kita uang dan waktu secara sekaligus. Keep moving my friends.
Selasa, 13 November 2012
Masa Lalu
Jika Anda mengalami trauma pada masa lalu yang begitu membekas. Trauma ini lantas Anda gunakan sebagai 'kambing hitam' atas keterpurukan Anda saat ini. Anda terus terikat dengannya, meski itu menyakitkan.
Sebuah cerita Tinggalkan Masa Lalu ANDA :
Bila Anda tak bisa lepas dari trauma, maka coba tanyakanlah hal ini pada diri Anda:
"Berapa banyak luka lagi yang akan saya biarkan diderita oleh diri saya sendiri? Apakah trauma ini pantas
menghancurkan seluruh sisa hidup saya? Siapa yang berkuasa disini, diri saya--ataukah trauma?"
Perhatikanlah daun-daun yang mati dan berguguran dari pohon, ia sebenarnya memberikan hidup baru pada pohon. Bahkan sel-sel dalam tubuh kita pun selalu memperbaharui diri.
Segala sesuatu di alam ini memberikan jalan kepada kehidupan yang baru dan membuang yang lama. Satu-satunya yang menghalangi kita untuk melangkah dari masa lalu adalah pikiran kita sendiri.
Jangan Biarkan masa lalu menghancurkan Anda, tetapi biarlah anda yang membangun masa depan. |
Beban berat masa lalu, dibawa dari hari ke hari. Berubah menjadi ketakutan dan kecemasan, yang kemudian pada akhirnya akan menghancurkan hidup Anda sendiri.
Ingatlah hanya seorang pemenanglah yang bisa melihat potensi, sementara seorang pecundang sibuk mengingat masa lalu.
Bila kita sibuk menghabiskan waktu dan energi kita memikirkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan, maka kita tidak memiliki hari ini untuk disyukuri.
Saat kita merasa sedih dan putus asa, atau bahkan menderita, coba renungkan keadaan di sekitar kita. Barangkali masih banyak yang lebih parah dibandingkan kita?
Tetaplah tegar dan percaya diri, berpikir positif dan optimis. berjuang terus, dan pantang mundur.
Senin, 12 November 2012
Aku Menangis Sebanyak 6 Kali untuk Adikku.
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya,bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku Menangis Sebanyak 6 Kali untuk Adikku. ~ Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum,
"Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu?
Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum,
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota.
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Aku Menangis Sebanyak 6 Kali untuk Adikku. |
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Renungan :
Ketika kesulitan terjadi, terkadang hanya saudara kita yang rela menanggung semua beban. Hargai lah saudara yang kita punya..