Senin, 12 Maret 2012

Sesuatu terlihat sulit ketika kita pikirkan dan pandangi, Namun akan mudah ketika kita kerjakan. Do it, Don’t Think it


Monday, March 05, 2012  11:06:35 AM

Saya kepingin cerita mengenai pengalaman saya, pengalaman yang biasa saja memang, namun saya rasa luar biasa pesan yang ada dibalik pengalaman ini.

Sejak saya kecil saya tidak suka memakan cabe rawit hingga saya mengalami kejadian ini, pada awalnya ketidak sukaan saya dengan cabe rawit karena terlalu pedas sekali (ini saya percayai karena kata-kata orang tua saya), namun selama ini saya bukannya tidak suka dengan makanan yang pedas-pedas, saya menyukainya namun saya lebih suka memakan sambal atau saus dari pada harus memakan cabe rawit untuk menambah rasa pedas, bahkan suatu ketika saya pernah mengalami sakit perut setelah makan di rumah makan padang dan waktu itu saya kebanyakan makan sambalnya.

Pada awalnya begini sewaktu saya SD kalau tidak salah sekitar kelas 1 atau kelas 2 SD, sewaktu itu saya dan keluarga saya bersama-sama memakan goreng-gorengan yang ada bakwannya, lalu  goreng pisang, rosoles, pastel dan lain-lainnya yang tidak semua saya tahu namanya, mungkin lupa.

Sewaktu itu gorengan yang di beli tersebut tanpa disertakan sambal, yang biasa di berikan dengan bungkusan kecil yang berbeda, yang ada hanya sekitar ½ ons cabe rawit. Sebelum-sebelumnya pun saya belum pernah makan cabe rawit secara langsung, kalaupun makan gorengan saya dulu memakannya dengan cabe merah, yang biasa digunakan ibu saya untuk membuat sambal. Saya memakannya secara langsung seperti memakan cabe rawit biasa.

Mau apalagi, saya memang suka makanan yang pedas-pedas, namun tidak suka cabe rawit apalagi  saat itu memakan gorang-gorengan yang memang lebih enak dimakan dengan rasa yang pedas baik karena cabe rawit ataupun saus sambal. Gak enak rasanya ketika saya memakan gorengan tersebut tanpa rasa pedas. namun karena rasa penasaran dan ditambah kurang sedap rasanya bila gorengan itu tidak pedas, maka saya beranikan memakan cabe rawit yang tidak pernah saya makan sebelumnya. Dan apa yang terjadi, lidah saya serasa merasakan sensasi yang luar biasa yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya, pedas banget. Ahhk tidak tahan rasanya, dan satu lagi pedasnya itu loh yang tidak merata pada seluruh lidah, hanya beberapa sudut lidah saja yang merasa kan pedas yang luar biasa. Begitu luar biasa rasa pedas itu saya rasa sewaktu itu, menyebabkan air mata saya keluar dan bercucurannya keringat saya.

Cabe rawit tak sepedas dengan apa yang aku pikirkan selama ini.

Sumber gambar : dwikiprasetya.blogspot.com

Yah.. bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu, tidak pernah lagi saya memakan cabe rawit, namun saya tidak berhenti makan-makanan yang pedas, saya tetap memakan makanan yang pedas. hingga akhirnya ketika saya kelas 3 SMA di sebuah acara seminar, ketika itu ditengah-tengah seminar semua peserta dikasih snack, dan ketika saya buka isinya memang standar saja, sebuah rosoles dan cabe rawit, plus ditambah sebuah kue lapis legit dan air mineral. Wah ada rosolesnya namun tidak disediakan saus atau sambal, yah.. itu selalu yang ada dalam pikiran saya ketika saya mendapat snack yang ada gorengannya semisal rosoles atau pastel atau apalah, yang ada hanya cabe rawit.
Mengingat kejadian yang sama alami dulu ketika SD, jadi ketika saya mendapat snack itu saya lebih memilih untuk memakannya tanpa rasa pedas, atau dalam kata lain saya tidak memakan cabe rawitnya, namun ketika seminar itu, diberi snack saya berubah pikiran ketika melihat teman disekitar saya yang begitu menikmati sensasi pedasnya cabe rawit, akhirnya saya memberanikan diri untuk memakan cabe rawit tersebut.

Entah apa yang ada didalam pikiran saya saat itu, saya takut mengalami kejadian yang sama ketika saya alami di SD dulu, apalagi mengalaminya disebuah acara seminar yang formal ini, namun di lain sisi saya sudah lupa gimana gregetnya saat memakan cabe rawit, yang ada di pikiran saya hanya mengingat rasa pedas yang luar biasa, namun sesungguhnya saya tidak tahu lagi bagaimana rasa pedasnya itu. Otak saya seperti sudah ter setting selama bertahun-tahun bahwa cabe rawit sangat pedas, dan saya tidak mampu menahan rasa pedasnya.

Akhirnya pun saya memakannya, diawali dengan satu gigitan rosolesnya lalu diikuti dengan cepat gigiitan dari cabe rawit dengan maksud dan harapan agar lidah saya tidak merasakan pedas itu.  Dan jreng-jreng apa yang terjadi, saya tidak merasakan pedas sama sekali, ini serius, maksud saya pedasnya itu terlalu greget banget. Gak ada rasa pedas yang berarti yang saya rasakan di mulut saya, pada gigitan kedua setelah rosoles pada gigitan yang pertama habis, saya hanya menggigit cabe rawitnya tanpa memakan rosolesnya sedikit pun, ini untuk meyakinkan bahwa memang benar kalau cabe rawit itu tidak terlalu pedas, hah gigitan kedua inipun tidak terlalu terasa pedasnya , hanya seperti serangan kecil pada mulut saya ketika saya memakan cabe rawit tersebut.

Saya sempat terhenyuk memikirkan sesuatu, setelah snack yang ada ditangan saya habis. Dalam pikiran saya, saya tertipu oleh pikiran saya sendiri, atau tertipu dengan pengalaman pahit.  Yah saya merasa malu sekaligus menyesal, saya malu karena bertahun-tahun saya dibodohi oleh paradigma didalam pikiran saya yang tercetus saat saya SD, namun pada akhirnya itu tidak terlalu benar. Saya menyesal ketika mungkin ratusan snack yang pernah saya makan di setiap acara, saya memakannya tanpa rasa pedas, atau hanya dengan rasa hampa gorengan. Dalam pikiran saya pun saya terpikir bahwa, betapa saya di butakan oleh sebuah pemikiran yang kolot, yang seharusnya dengan berjalannya waktu dapat diubah, namun tidak berubah karena saya tidak mau mencoba.

Saya mendapat pelajaran yang berarti dari kejadian ini, betapa beratnya sesuatu itu bila kita tidak mencoba, jangan hanya termakan oleh paradigma, kita harus mencobanya, dan yakinlah kalau memang benar kita bisa melakukannya. Semua hal akan terlihat sulit dalam pikiran dan pandangan kita, sama seperti cabe rawit yang selama bertahun-tahun saya rasakan sangat pedas dalam pemikiran saya. namun ketika saya mencobanya, saya sadar, kalau itu sebenarnya tidak ada apa-apanya.  Dan pekerjaan, masalah atau apalah, akan terlihat lebih mudah ketika kita mengerjakannya.

Minggu, 11 Maret 2012

Sekolah keahlian bagi mereka yang benar-benar ingin langsung Bekerja bukanya SMA


Thursday, February 23, 2012  

Pada saat jam terakhir belajar tadi, kelas saya kedatangan tamu dari sebuah institusi pendidikan keahlian untuk mempromosikan atau lebih halusnya memperkenalkan institusi pendidikan mereka kepada kami siswa-siswi SMA yang akan tamat. Saya menaruh perhatian lebih kepada mereka karena mereka menawarkan program keahlian 1 tahun (D1) namun dengan sertifikat komputer bukan program Diploma. Cukup menarik diikuti tapi cita-cita saya bukan bekerja.
Pada kali ini yang ingin saya sampaikan bukan mengenai institusi pendidikannya namun mengenai pendidikan. Yah, begini, saya sudah sedikit muak rasanya dengan sistem pendidikan di Indonesia ini, yah yang entah gimananya terlalu semrawutan saya rasa, tapi memang tidak semua, hanya mungkin yang bagus itu beberapa sekolah saja yang sudah bertaraf atau berstandar ISO, selebihnya entahlah saya tidak tahu mau bilang apa. Mulai dari sistem pendidikan, kurikulum, manajemen, fasilitas, dan banyak lagi saya rasa. Sebelumnya saya lanjut lebih jauh, saya merupakan orang yang mungkin belum menjadi apa-apa, orang yang belum pernah menduduki bangku pendidikan tinggi, mungkin saya dalam menulis tidak ilmiah dan tidak berdasarkan bukti-bukti namun tulisan ini merupakan curahan hati saya terhadap apa yang saya rasa salah.

Revolusi di bidang pendidikan itu yang saya harap, pendidikan merupakan tanggung jawab setiap orang, dan saya rasa walaupun saya masih seperti ini saya merasa bertanggung jawab terhada pendidikan.  Perubahan yang saya harapkan disini yaitu bagaimana pendidikan itu bukan hanya tempat untuk belajar tapi juga tempat untuk mendapat didikan. Tapi lebih dari itu pendidikan dapat mengajarkan kita keahlian yang dibutuhkan untuk kerja.

Saya sempat terhenyuk ketika pemerintah kita mengumumkan akan berencana membuat program wajib belajar 12 tahun (6 tahun SD, 3 Tahun SMP, 3 Tahun SMA) apakah yang ada dalam pemikiran para petinggi-petinggi tersebut dengan membuat hal tersebut? Saya sampai sekarang tidak tahu apa yang mereka pikir atau apakah tujuan mereka. Apakah tidak terlalu lama 12 tahun? Ditambah lagi nanti bila melanjtutkan ke program Diploma-3 selama 3 tahun. Jadi untuk mempersiapkan seeorang untuk dapat bekerja minimal membutuhkan waktu 15 tahun? Jadi fresh graduated yang akan dihasilkan nanti akan berumur minimal 21 tahun?

Tidakkah terlalu tua itu? Atau tidakkah terlalu lama pendidikan itu? Adakah jalan lainnya? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Sewaktu saya belajar fisika di SMA, ditengah-tengah belajar, guru saya sempat bercerita mengenai pengalamannya dalam menempuh kuliah di Belanda. Ya guru saya itu tamatan S2 dari belanda jurusan teknik Fisika kalau tidak salah dari salah satu Universitas ternama di Belanda. Dia berkisah kalau di belanda itu sistem pendidikannya itu berdasarkan tingkat kecerdasan dari masing-masing individu, jadi begitu tamat sekolah sejenis SMP, maka setiap siswanya akan di test untuk kelanjutan studi mereka, bila IQ mereka mencukupi mereka akan melanjutkan ke sekolah Sejenis SMA dan Universitas namun bila (maaf) IQ mereka diatas rata-rata mereka akan ditempatkan pada sekolah-sekolah keahlian. Jadi dengan kata lain Universitas mereka dipenuhi oleh orang-orang yang mampu (kecerdasan) dan ingin belajar, bukan nya seperti yang saya lihat sekarang ini di Indonesia.

Seharusnya Pendidikan Keahlian, memang benar-benar mempersiapkan lulusannya untuk bekerja, bukannya lulusan untuk selanjutnya melanjutkan ke Perguruan Tinggi, (Walau memang tidak ada yang melarang)


Ya bisa dikatakan kita juga memiliki, sekolah-sekolah keahlian tersebut yaitu SMK, tapi apakah itu sudah cukup? Banyak dari siswa mungkin saja masih menganggap SMK sebagai sebuah sekolah lanjutan. Lalu guru saya pernah bercerita bahwa kalau di SMK kurikulumnya pun terlalu berat karena selain belajar program keahlian mereka juga katanya diajarkan materi di SMA.

Entahlah tapi menurut saya, sekolah keahlian yang pas itu untuk pendidikan kita yaitu seperti program keahlian D1 seperti yang saya ceritakan diawal tadi. Namun bukannya untuk tamatan SMA atau SMK sederajat tapi, untuk tamatan SMP. Dan apa yang diajarkan seharusnya memang benar-benar apa yang diperlukan untuk dunia pekerjaan nantinya.

z>——(---)——<z

Jumat, 09 Maret 2012

Nilai dan Nilai lagi, Revolusi Pemikiran

Tuesday, February 21, 2012  12:04:24 PM

Terlalu banyak kayaknya orang yang munafik didunia ini aku rasa, entahlah tapi itu yang aku rasa, entah munafik, entah sok-sok entah apa itu namanya, serius aku gak suka kali dengan sistem yang ada sekarang ini.

Banyak orang yang seperti hidup didalam sebuah kebohongan, atau hampir semua orang hidup didalam kebohongan, semuanya hanya sebagai sebuah kegiatan formalitas belaka. Ini masalah pendidikan dan nilai, mengapa pendidikan itu selalu identik dengan nilai, padahal banyak nilai itu hanya manupalasi belaka, dan bukan hanya manipulasi saja, namun juga hanya formalitas untuk mengisi atau melengkapi pendidikan itu sendiri, itu yang aku rasakan.

Tapi entah mengapa banyak orang yang seakan terlalu kaku dengan pemikirannya, dan mempercayai bahwa nilai itu adalah segalanya, entahlah tapi memang itu yang aku rasa, orang terlalu menghamba dengan nilai sekarang ini, apa-apa nilai, sedikit-sedikit nilai. Dan nilailah yang membatasi diriku.

Andai aku tahu dari dulu kalau pemikiran orang begini semua, aku akan merubah cara belajarku akan mati-matian belajar ketika mau ujian atau ulangan saja, dan leha-leha pada hari lainnya. Sejak dahulu aku memiliki pemikiran yang cenderung menganggap kalau sekolah dan nilai hanya formalitas saja, ilmu tidak hanya didapat disekolah tapi dimana saja, dan saya lebih senang mempelajari pelajaran yang saya suka dan cenderung tidak menganggap pelajaran yang lainnya, namun. Karena aku cenderung mempelajari apa yang aku suka terkadang aku sering belajar materi walaupun materi itu udah diujiankan atau diulangankan.

Ditambah lagi sejak beberapa tahun ini (pertama kali diadakan pada saat saya kelas 1 SMP – 2006) saya dan seluruh siswa diajarkan dengan namanya KKM dan Remedi, jadi saya rasa memang nilai lah sekarang yang mengatur semuanya. Apakah bisa dijadikan acuaan sekarang nilai itu? Banyak siswa sekarang jadi cenderung mengejar nilai, yah karena sistem pendidikan yang memaksanya untuk begitu, soal-soal ujian atau ulangan terkadang dipermudah agar siswa dapat lulus dengan nilai baik, kualitas semakin lama semakin menurun menurut saya, target sekarang bukan nya gimana supaya dapat nilai 80 atau 90, tapi gimana sekarang harus mencapai target lulus dengan nilai minimal sama dengan KKM atau lebih.

 Sekali lagi nilai bukanlah segalanya,
Sumber gambar : smp3-sekotong.blogspot.com

Apakah yang dimaksud oleh orang-orang yang mengatur pendidikan Indonesia dengan menerapkan sistem begini? Gak tahu aku, belum bisa terpikirkan oleh ku hingga sekarang ini jawaban yang benar-benar benar.

Beberapa kali aku sempat berpikir kalau sistem itu dibuat bertujuan agar semua siswa dapat atau harus lebih tepatnya, untuk mengerti dan memahami pelajaran yang mereka pelajari itu dengan baik, yang dibuktikan dengan standar nilai ketuntasan minimal, namun apa yang terjadi dilapangan? Justru cenderung siswa itu salah persepsi, dan menganggap nilai ketuntasan minimal itu adalah target yang harus merekan capai, terkadang tanpa memikirkan tujuan pendidikan yaitu belajar dan dididik. Entahlah.

Sekolah bukan untuk mendapat ijazah aja, tapi Ilmu.
Sumber gambar :rohmadsosiawan.blog.uns.ac.id
z>——(---)——<z