Jumat, 03 Februari 2012

Pendidikan Mahal





Pendidikan Mahal

Selama tiga hari ini, mulai dari hari senin hingga nanti rabu, sekolahku akan mengadakan Try-out persiapan ujian nasional. Di tengah-tengah TO pun sempat-sempatnya mengadakan Promosi, TO ini dilaksanakan oleh sebuah bimbel di Kota ku. Tapi yang aku heran di TO ini, aku melihat ada unsur komersialisasi, yaitu dengan adanya iklan di kertas soal ujian dan LJK kami. Namun begitu, biarpun tetap ada unsur komersialisasi oleh pihak bimbel, kami juga diharuskan membayar sejumlah uang yang memang tidak banyak (Rp. 10.000 per siswa), yang katanya untuk biaya TO tersebut.

Menurut aku ini merupakan sebuah kesalahan, mengapa? Karena aku memandangnya dari sudut pandangan yang berbeda, aku menganalogikan dengan yang terjadi pada dunia Komputer, misalnya begini, bila kita mendapat software atau sesuatu layanan di Internet secara gratis, layaklah kita di suguhi iklan yang tidak mengenakkan hati, namun bila kita bayar, kan tidak layak lagi kita mendapat kan layanan dengan iklan, bukannya begitu?

Seharusnya saya yang sudah membayar uang untuk TO tersebut, tidak lagi mendapati lembaran soal dan kertas LJK saya di penuhi dengan iklan. Kecuali ini memang gratis. Sungguh kalau jujur saya merasa amat terganggu dengan iklan itu, pada awalnya begitu saya mendapat lembaran soal, lalu saya melihat di bagian bawah (iklannya terletak di bagian bawah) ada sebuah gambar yang cukup menarik,, spontan saya mengalihkan perhatian saya kegambar itu, dan ternyata itu adalah iklan.

Selain memerlukan Otak namun juga memerlukan uang


Begitupun saat saya menerima Lembaran Jawaban Komputer (LJK) pada bagian kepalanya atau kop-nya berisi nama bimbel yang mengadakan try-out tersebut dan alamatnya di kota saya ini, serta nomor telepon.

Ini merupakan hal yang sepele, tapi saya merasakan, bagaimana kalau pendidikan itu di komersialisakan, sebagai tempat untuk meraup keuntungan. Memang bukan hanya ini saja, namun banyak lagi kejadian lain komersialisasi pendidikan. Contoh lainnya lagi yang cukup kentara saya rasa, adalah penjualan buku-buku di sekolah. Memang saya sadar kalau tanpa buku kita tidak bisa belajar, karena buku merupakan seorang guru, tapi yang ingin saya perbincangkan disini bukannya menjual bukunya, namun birokrasi atau politik yang ada di belakangnya.

Misalnya begini, pada semester satu kemarin saya membeli buku dengan harga kisaran perbijinya adalah sekita 50-70ribu, saya yakin dan percaya kalau biaya produksi ditambah biaya lain-lainnya tidak sampai segitu.
Beberapa saat yang lalu, saya masih ingat masalah mengenai fee yang diterima oleh guru-guru yang diberikan oleh penerbit karena mereka menjual buku yang diterbitkan penerbit di sekolahnya. Dan saya yakin fee yang didapat oleh oknum-oknum guru tersebut tidak sedikit, dan inilah yang membuat harga buku itu melonjak. Bayangin  begini, di took buku besar di kota saya, Gr****ia harga buku yang dijual oleh mereka sama dengan harga jual buku disekolah, bayangin took buku sebesar itu gak akan menjadi besar bila tidak mengambil untung yang besar. Jadi bayangin berapa keuntungan yang didapat oknum-oknum tersebut

Akhir kata, saya ingin menyampaikan kalau tulisan ini saya buat bukan untuk melecehkan atau menfitnah atau apalah itu, saya hanya ingin membuka pikiran kita semua, mengenai apa yang terjadi di masyarakat. Satu hal lagi yang benar-benar saya inginkan, suatu saat nanti saya ingin melihat adik-adik saya atau anak-anak saya, atau mungkin cucu-cucu dan cicit-cicit saya, mendapat pendidikan yang gratis dan berkualitas. Sedikit banyak terkembang suatu guyonan di masyarakat yaitu “Pendidikan Berkualitas adalah Mahal

>——(---)——<


Tidak ada komentar:

Posting Komentar